INIKEPRI.COM – Di tengah gemuruh mesin-mesin pabrik dan siluet biru cerobong yang mengepul di langit Batam, ada suara yang tak terdengar—suara yang datang dari balik pagar, dari tanah yang menopang, dari kampung yang diam-diam menua bersama debu industri.
Adalah Sei Beduk, wilayah yang berdiri di samping kemegahan Batamindo Industrial Park, kawasan ekonomi yang digadang sebagai jantung manufaktur Kota Batam. Namun, bagi banyak warga Sei Beduk, jantung ini berdetak bukan untuk mereka.
Anwar Anas, putra asli daerah sekaligus anggota DPRD Kota Batam, menulis sebuah surat terbuka yang mengguncang ruang-ruang sunyi media sosial dan percakapan warung kopi. Sebuah seruan moral, namun juga sebuah gugatan publik, tentang ketidakadilan yang membatu dalam sistem rekrutmen tenaga kerja di Batamindo.
“Warga Sei Beduk masih sangat minim terserap menjadi tenaga kerja di perusahaan-perusahaan tenant Batamindo,” tulisnya.
“Banyak dari mereka yang justru hanya menjadi penonton dari geliat ekonomi di depan mata mereka sendiri.”
Ironi ini bukan cerita baru. Tapi ketika seorang legislator mengangkatnya dalam bahasa yang begitu terang, tak bisa lagi kita menyebutnya angin lalu.
Batamindo, yang tumbuh besar dengan berbagai kemudahan fiskal dan insentif negara, kini ditanya tanggung jawabnya oleh mereka yang hidup di bawah bayang industrinya.
Antara Mesin dan Manusia
Warga Sei Beduk bukan tak ingin bekerja. Mereka mengetuk pintu, mereka mengantre dalam diam, mereka menyodorkan CV dengan tangan penuh harap. Namun, yang terbuka hanyalah lowongan tanpa nama, tanpa alamat, dan tanpa jembatan yang jelas menuju mereka yang tinggal paling dekat.
Anas menegaskan, ini bukan hanya soal angka. Ini tentang pengakuan. Tentang keadilan sosial yang seharusnya menjadi fondasi dari setiap denyut pertumbuhan.
Dalam suratnya, Anas meminta hal yang sebetulnya sederhana:
• Kuota afirmatif 30% untuk warga lokal.
• Pelatihan keterampilan gratis sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan.
• Transparansi rekrutmen setiap tiga bulan.
• Prioritas untuk posisi non-spesialis, yang seharusnya tak menuntut ijazah tinggi, hanya kemauan dan kesempatan.
Ini bukan ancaman, tapi pengingat. Bahwa industri yang dibangun di atas tanah masyarakat tidak bisa hidup sendiri. Tidak bisa bertumbuh tanpa mengulurkan tangan ke sekitarnya.
Dinding yang Memisahkan
Setiap kawasan industri membawa janji: lapangan kerja, kesejahteraan, pembangunan. Tapi ketika pagar kawasan menjadi simbol keterpisahan, ketika lampu-lampu pabrik bersinar namun rumah-rumah di sekitarnya tetap gelap, janji itu berubah menjadi paradoks.
Batamindo bukan sekadar kawasan industri. Ia adalah ekosistem, dan ekosistem hanya bisa lestari jika setiap bagiannya hidup bersama.
Anwar Anas, lewat suratnya, menutup dengan nada yang bukan hanya politis, tapi sangat manusiawi:
“Batam adalah rumah kita bersama. Keadilan harus dibangun mulai dari pintu gerbang kawasan industri.”
Catatan Akhir
Surat ini adalah cermin. Ia memantulkan luka yang selama ini tersembunyi di balik statistik pertumbuhan ekonomi. Ia mengingatkan kita bahwa pertumbuhan tanpa keadilan adalah pembangunan yang pincang.
Kini bola ada di tangan Batamindo. Apakah surat ini akan dibaca sebagai kritik atau sebagai kesempatan untuk berubah? Hanya waktu dan tindakan yang akan menjawabnya.
Yang pasti, suara dari sempadan sudah bersuara. Dan kota yang adil, adalah kota yang mau mendengar.
Penulis : IZ