INIKEPRI.COM – Di sudut paling utara Tanah Air, ketika angin laut menggulung dan perahu kecil berjuang melawan gelombang, suara seorang perempuan menggema dari garis batas: Cen Sui Lan, Bupati Natuna, angkat bicara untuk mereka yang terlalu lama dibungkam gelombang.
Dalam Rapat Koordinasi Forum Sinkronisasi Pengawasan dan Penegakan Hukum di Wilayah Yurisdiksi Indonesia, Rabu (18/6/205), di Ballroom Jelita Sejuba, Sepempang, Cen Sui Lan tampil bukan hanya sebagai pejabat, tapi sebagai ibu, penjaga, dan saksi atas luka panjang perbatasan yang nyaris terlupakan.
“Natuna itu 99 persen laut, tapi justru daratannya yang kita jaga. Sedangkan laut kami, tempat nelayan hidup dan bermimpi, dijejali kapal asing tanpa tersentuh,” ucapnya lirih, tapi penuh api.
Nelayan Natuna bukan tak mau berlayar jauh. Tapi dengan perahu kecil dan jaring lusuh, mereka seolah hanya jadi tamu di lautan mereka sendiri. Di saat kapal-kapal asing berseliweran bebas dengan izin resmi, nelayan lokal justru tak punya daya, tak punya suara.
“Natuna ini kaya, tapi rakyatnya masih miskin. Saya sebagai Bupati, saya sedih. Empat bulan saya menjabat, saya merasa belum bisa melakukan apa-apa,” ungkap Cen Sui Lan, dengan suara bergetar.
Diksi Cen Sui Lan tak melambung, tapi menyayat. Ia menyingkap realita pahit bahwa regulasi pusat justru membatasi gerak daerah. Aturan mengenai 4 mil, 12 mil, telah menjadi pagar tak kasat mata yang mengekang kedaulatan lokal atas lautnya sendiri.
Cen Sui Lan bukan hanya mengeluh. Ia menawarkan jalan: libatkan swasta, kirimkan kapal-kapal besi, bantu nelayan untuk bisa berdiri sendiri di lautnya yang luas.
“Kalau pusat tak mampu sendiri, mengapa tidak membuka ruang kolaborasi? Jangan biarkan laut kami dikuasai yang kuat, sementara nelayan sendiri bertahan hidup dari sisa-sisa harapan,” katanya, menawarkan solusi.
Lebih dari sekadar pertahanan militer, bagi Cen Sui Lan, kedaulatan sejati adalah ketika rakyat di perbatasan tidak lagi hidup dalam ketakutan dan kekurangan.
“Bagaimana bisa menjaga kedaulatan jika perut rakyat kami kosong? Kami butuh perlindungan yang nyata, bukan sekadar kunjungan,” harapnya.
Ia menutup dengan rasa terima kasih, tapi juga penekanan: kunjungan ke Natuna adalah awal. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk bertindak.
“Semoga rakor ini tidak berhenti di meja-meja rapat, tapi sampai ke jaring-jaring nelayan kami yang koyak, dan ke wajah-wajah anak-anak Natuna yang menanti harapan,” tegasnya, mengakhiri dengan nada harap dan keteguhan.
Penulis : DI
Editor : IZ