INIKEPRI.COM – Sore itu, langit di Desa Simandolak, Kecamatan Benai, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, mulai merona tembaga.
Matahari yang hendak tenggelam seakan menyimpan sebuah rahasia: ada kisah duka, tetapi juga secercah cahaya yang sedang tumbuh di sebuah rumah sederhana.
Di rumah itulah tinggal Saraini, seorang ibu sekaligus janda muda. Suaminya, Edi, seorang atlit Pacu Jalur ATOM yang gagah dan penuh semangat, berpulang terlalu cepat. Ia wafat saat latihan, sebelum sempat ikut berlomba pada bulan Agustus. Kepergiannya meninggalkan ruang kosong, bukan hanya di hati keluarga, tetapi juga di lintasan sungai tempat dayungnya dulu berpacu.
Kini, Saraini berdiri sendirian, menjadi kepala rumah tangga. Dua anaknya yang masih kecil menatap masa depan dengan tatapan penuh tanda tanya.
Bagaimana sekolah? Bagaimana makan esok hari? Pertanyaan-pertanyaan itu kerap berputar di kepalanya, seperti riak sungai yang tak pernah berhenti.
Amanah yang Mengetuk Pintu
Ahad (14/9/2025), sekitar pukul 16.15 WIB, pintu rumahnya diketuk. Seorang tamu datang membawa kabar yang akan mengubah sore itu. Ustad Dr. Roni Putra, M.Pd berdiri dengan senyum teduh, membawa sebuah amanah: beasiswa Rp15 juta rupiah, hasil dari zakat mal pasangan dermawan Raja Mustakim dan istrinya, Cen Sui Lan, Bupati Natuna periode 2025–2030.
Saat amplop berisi uang itu berpindah ke tangan Saraini, tubuhnya bergetar. Wajah yang sejak pagi muram seketika berubah. Air mata luruh, namun kali ini bercampur dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, saya bersama anak sangat berterima kasih. Semoga Bang Takim dan Kak Cen, Bupati Natuna, sehat selalu dan dimudahkan segala urusannya oleh Allah SWT. Aamiin ya rabbal ‘alamiin,” ujarnya, terbata-bata, namun penuh keikhlasan.
Kebaikan yang Diam-diam Diperhatikan
Dalam keharuan itu, Saraini mengenang sesuatu. Ia dan almarhum suaminya, sejak lama, sering membicarakan tentang kebaikan pasangan Raja Mustakim dan Cen Sui Lan.
Di Simandolak, nama keduanya dikenal bukan karena harta, tetapi karena kemurahan hati.
“Sejak lama saya perhatikan, bahkan pernah cerita-cerita bersama almarhum tentang berbagai bantuan Bang Raja Mustakim ke kampung halaman kita. Siapa sangka, hari ini justru saya dan anak-anak saya menerimanya. Saya yakin almarhum suami saya tersenyum di surga dengan bantuan ini,” katanya, lirih namun penuh keyakinan.
Masyarakat Simandolak menyebut pasangan ini dengan panggilan hangat: “Mak Takim dan Amai Cen.” Julukan itu lahir dari kedekatan emosional, dari tangan-tangan yang kerap terulur diam-diam tanpa berharap balasan.
Pesan yang Dititipkan
Melalui Ustad Roni, Raja Mustakim menitipkan harapan sederhana:
“Semoga bantuan ini dimanfaatkan untuk kepentingan sekolah dan kebutuhan rumah tangga atau ekonomi Saraini bersama anak-anaknya.”
Pesan itu bukan sekadar ucapan, melainkan doa, agar uang itu tak hanya berhenti menjadi angka, tetapi menjelma jadi ilmu, jadi rezeki, jadi jalan terang bagi masa depan anak-anak almarhum Edi.
Cinta yang Tak Pernah Pergi
Hari itu, Desa Simandolak menjadi saksi bahwa cinta tak pernah benar-benar pergi. Edi memang telah tiada, dayungnya tak lagi mengiris air sungai. Namun, semangatnya masih hidup—dijaga oleh istri yang tabah, anak-anak yang penuh harapan, dan masyarakat yang peduli.
Zakat yang disalurkan itu seolah menjadi jembatan antara dunia fana dan doa-doa di langit. Sebuah tanda bahwa di balik kehilangan, Allah selalu menitipkan pengganti berupa kebaikan.
Dan di rumah sederhana itu, sore yang awalnya berat berubah menjadi sore penuh cahaya. Air mata Saraini bukan lagi air mata kesedihan semata, tetapi doa yang melangit serta mendoakan mereka yang peduli, dan tentu saja, mendoakan suami tercinta yang kini beristirahat dalam dekapan Sang Maha.
Penulis : IZ