Batam, inikepri.com – “Catatan Pelepas Penat” yang ditulis Wakil Walikota Batam H Amsakar Achmad secara berseri di Facebook pribadinya, menyita perhatian publik. Lalu mengapa disebut Catatan Pelepas Penat?
Dalam satu unggahannya, Wakil dari Walikota Batam H Muhammad Rudi (HMR) ini menjelaskan:
“Catatan itu dibuat di sela-sela waktu senggang, saat mau tidur, saat di dalam mobil, saat lepas aktivitas, saat sedang fresh ketika kata-kata datang menggoda. Setelah jadi, catatan itu membuatku betul-betul seperti lepas dari penat.”
Kebiasaan HAM ini cukup unik. Sebab, di saat banyak yang mengusir lelah, mengisi ulang tenaga dengan hang out atau plesir, suami Hj Erlita Sari Amsakar ini malah menulis.
Mungkin saat ini mata kita mulai terbuka, bahwa kegiatan yang membutuhkan koordinasi antara motorik jari-jemari, otak, dan penglihatan ini ternyata efektif untuk mengusir segala kejenuhan.
Kuncinya terletak saat menyalurkan rasa melalui media kertas atau mengetik di komputer secara visual. Inilah yang menjadi obat ampuh menghilangkan stres. Sekaligus terapi untuk diri sendiri.
Kebiasaan HAM dalam menulis ini jua mengingatkan kita kepada kalimat legendaris yang ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam cerita “Rumah Kaca.”
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,” katanya.
Kutipan tersebut secara jelas menyebut bahwa betapa pentingnya menulis. Kepandaian terbaik pun akan kurang lengkap jika seseorang tidak menulis.
Dengan menulis kita membuat sejarah. Dengan menulis kita menggoresakan tinta ke dalam sejarah kehidupan banyak orang.
“Verba volant, scripta manent,” kata peribahasa Latin. Artinya, kata-kata lisan dapat dilupakan dengan mudah, tetapi tulisan-tulisan akan tetap ada.
Tak banyak pejabat yang menjadikan kebiasaan menulis apalagi sampai berseri, sebagai tradisi intelektualnya. Untuk legacy di masa depan.
Dengan terbiasa menulis panjang, seseorang akan terbiasa berpikir panjang, mengerti bagaimana melahirkan sintesa dan memunculkan kesimpulan sehingga akan ada alur diskusi dan dialektika yang baik.
Sehingga, diakui atau tidak, Catatan Pelepas Penat Amsakar Achmad ini, menjadi oase bahkan contoh pejabat lain bukan hanya di Batam, bahkan di Indonesia, di tengah minimnya budaya literasi saat ini.
Kenapa disebut begitu? Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pernah menjelaskan:
Dalam tradisi penulisan sejarah, terutama sejarah Islam, terdapat tradisi penulisan biografi ulama yang pada zamannya mungkin tidak begitu penting artinya.
Tetapi pada zaman berikutnya malah menjadi sumber historiografi yang kaya, sebagai kaitan yang menghubungkan mata rantai dalam kajian-kajian keislaman.
Berangkat dari sini, bisa jadi suatu saat nanti Catatan Pelepas Penat Amsakar Achmad yang berisi bagaimana dia saat berinteraksi dengan lingkungan sosial, akademik dan ide-ide pentingnya yang dianggap berpengaruh dalam kehidupan, akan menjadi studi penting untuk digali oleh generasi penerus nanti. Kaum intelektual, tentu saja.