Oleh: Amirul Khalish Manik
INIKEPRI.COM – Sistem pendidikan kita yang berjalan selama ini, tidak menekankan bagaimana mendidik akal peserta supaya berpikir kritis, otonom dan antisipatif. Cenderung yang ditekankan ialah bagaimana akal dapat menjustifikasi setiap postulat dan doktrin yang ditransmisikan melalui ruang waktu pendidikan. Malahan, sedikit sekali ruang untuk mempertanyakan keabsahan tentang pengetahuan, informasi, dogma, takrif, dan sebagainya yang disosialisasikan melalui kegiatan pendidikan yang ada. Lebih parah lagi, peserta didik ditekankan untuk menghafal persis lafaz dan kalimat yang tertera di buku-buku teks pelajaran. Keunggulan pemahaman siswa dinilai dan ditentukan seberapa akurat lafaz yang dapat dikuasai oleh siswa, bukan ditentukan oleh kesesuaian makna yang dikuasai oleh siswa. Dengan demikian yang terjadi sebenarnya pendidikan dikte, bukan pendidikan pemahaman.
Bila sekarang kita terheran-heran menemukan banyak fenomena kebebalan massa dalam merespon informasi dan peringatan, hal itu tidak bisa dilepaskan dengan disiplin berpikir atau pendidikan operasi penalaran yang mereka terima dan latihkan di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang mereka lalui.
Banyak yang mengeluh, mengapa publik Indonesia, khususnya umat Islam di Indonesia, cenderung mudah dimanipulasi, digiring dan dieksploitasi, padahal pelajaran dan pengalaman sejarah telah berulangkali mereka peroleh. Memamg pelajaran dan pengalaman sejarah telah mereka tahu, tapi yang mengalami adalah generasi sebelum mereka. Jadi dengan demikian, tidaklah secara langsung pelajaran dan pengalaman sejarah itu dapat mengkapokkan atau menjerakan mereka. Pada karakter berpikir seperti publik Indonesia, pendapat dan sikap hanya akan berubah bilamana mereka kepentok atau disogok untuk berubah pendapat.
Adalah sia-sia mengubah pemikiran dan pendapat banyak orang di Indonesia, dengan mendayagunakan metode debat atau adu kebenaran pendapat. Sebab pada umumnya, pembentukan pendapat dan pemikiran kebanyakan orang di Indonesia bukanlah melalui proses berpikir yang logis, runtut dan terstruktur rapi dan kuat, tetapi lebih ditentukan oleh hasil pikiran bersifat impulsif, spontan, mengandalkan topangan banyaknya orang berpendapat yang sama atau oleh karena pendapat seorang tokoh panutan yang mereka junjung dan percayai.
Akibatnya sangat rentan untuk digiring dan dimanipulasi. Sebenarnya hal ini tidak monopoli publik Indonesia, tetapi publik Indonesia jauh lebih rentan, mengingat sifat bahasa mereka, yang tidak memiliki struktur kalimat seperti misalnya, bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia tidak membedakan antara yang terjadi di masa lalu dengan masa sekarang dan akan datang. Tidak ada past tense dan present tense. Tidak ada fi’il madli dan fi’il mudhari’.
Itulah sebabnya, publik Indonesia cepat lupa dan selanjutnya mudah berubah sikap, tergantung keuntungan yang mereka perhitungkan. Konsentrasi perhatian mereka hanya tertuju dengan apa yang terjadi sekarang dan di sini. Amat langka untuk berpikir proyektif dan prediktif, yaitu memproyeksikan dan memprediksi apa yang akan terjadi. Sebab untuk berpikir memproyeksikan dan memprediksi masa mendatang, diperlukan rekaman pemikiran apa yang terjadi di masa lalu dan menghubungkannya secara pola, subtansi dan makna yang terjadi sekarang.
Salah satu jalan keluar dari masalah penalaran ini, yaitu melatih dan mendidik operasi penalaran investigatif terhadap data-data masa lalu, berpikir observatif, yaitu mengamati secara utuh dan lengkap tentang apa yang sedang terjadi dan membandingkannya dengan yang sudah terjadi sehingga ditemukan perbedaan dan kesesuaian antar peristiwa maupun keberlanjutan dan kebaruan antar peristiwa, kemudian maju ke tahap memproyeksikan dan memprediksi apa yang terjadi ke depan dengan bahan data yang sudah terkumpul.
Hanya dengan mendidik dan melatih cara menggunakan pikiran atau mengoperasikan akal rasional semacam itulah, baru kemungkinan kebanyakan orang Indonesia dapat kebal dari penipuan dan pembutaan, dan mangsa manipulator opini dan desepsi yang digelar untuk menguasai publik.
Mungkin karena menyadari masalah yang dipikul masyarakat Indonesia inilah, yaitu terjebak dalam berpikir mistis, impulsif dan irasional sehingga kita dapat memahami, mengapa para pendiri bangsa Indonesia seperti Mohammad Hatta sampai harus menulis buku dengan topik terkait mendidik operasi berpikir, Filsafat Yunani dan Tan Malaka sendiri, yaitu Madilog yang dimaksudkan untuk mengeliminir corak berpikir mistis, impulsif dan irasional.
Penulis adalah :
Wakil Ketua DPD KNPI Kepri Periode 2022-2025, Ketua Umum PW GPII Kepri dan Ketua Umum PW PRIMA DMI Kepri