INIKEPRI.COM – Deputi Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Engelbert Johannes Rohi, menyatakan bahwa salah satu faktor utama masih terjadinya praktik politik uang dalam Pemilu maupun Pilkada adalah rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
Hal itu disampaikan Rohi melalui keterangan resmi usai mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) Pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Maros bersama para stakeholder di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (21/10/2024).
“Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat kita masih sangat rendah. Lebih dari 30 juta penduduk tidak tamat SD, sekitar 64 juta tamat SD, 40 juta tamat SMP, 57 juta tamat SMA, dan hanya 12 juta yang mencapai jenjang S1,” ungkap Rohi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rohi menambahkan bahwa praktik politik uang masih banyak melibatkan lulusan sekolah dasar (SD) yang sangat rentan terhadap hal ini. Selain faktor ekonomi, pengetahuan yang terbatas membuat mereka lebih mudah terpapar praktik tersebut.
“Terlihat jelas adanya disparitas besar antara tingkat pendidikan SD dan S1. Inilah salah satu alasan utama mengapa politik uang masih sulit diberantas,” jelasnya.
Rohi juga menegaskan bahwa masyarakat dengan pendidikan rendah atau yang berada di lapisan ekonomi bawah cenderung lebih mudah menerima uang dalam jumlah kecil, karena bagi mereka uang sebesar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu sangat berarti.
“Itulah sebabnya ‘serangan fajar’ menjadi sangat efektif dilakukan oleh para calon untuk meraih suara. Dari berbagai hasil riset, penerima politik uang ini kebanyakan adalah perempuan, khususnya ibu rumah tangga,” katanya.
Menurut Rohi, Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dalam praktik politik uang, setelah Uganda dan Benin, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi.
Data tersebut diambil dari hasil riset yang dilakukan Burhanuddin pada dua Pilpres, yakni 2014 dan 2019. Hasilnya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) terlibat dalam praktik politik uang.
“Data demografi pendidikan ini juga dapat menjadi tolok ukur dalam melihat tingkat ekonomi suatu negara. Ini menjadi alasan mengapa politik uang sangat sulit untuk diberantas,” jelas Rohi.
Selain itu, Rohi juga menyoroti praktik politik uang lain yang sulit terdeteksi, yakni mahar partai politik. Menurutnya, pengawasan dalam hal ini masih lemah karena Bawaslu tidak memiliki kewenangan penuh untuk mengatur hal tersebut secara rinci.
“Kelemahan pengawasan ini menyebabkan munculnya fenomena kolom kosong di berbagai daerah pada Pilkada serentak tahun ini,” tambahnya.
Penulis : RBP
Editor : IZ