Batam, inikepri.com – Belakangan banyak masyarakat yang mengeluhkan harga uji diagnosis cepat (rapid diagnostic test/ RDT) untuk Covid-19. Pasalnya untuk alat yang menjadi tolak ukur penularan COVID-19 itu dijual dengan harga Rp300-Rp700 ribu.
Hal itu tentu memberatkan. Menurut pengalaman salah seorang warga yang pernah melakukan Rapid test mengatakan bahwa kini Rapid test sudah diberlakukan semacam bisnis.
“Seluruh pasian yang datang berobat ke RS dengan keluhan demam, atau apapun yang mengarah ke COVID-19, pasti diminta Rapid test dulu,” ujar Tika (30) kepada HOPS, Kamis 25 Juni 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tika adalah seorang karyawan swasta yang mengantar temannya periksa kesehatan di salah satu RS daerah Tangerang. Ia berujar saat itu temannya hanya kurang enak badan dan demam. Meski diagnosis akhirnya hanya kelelahan, namun temannya diminta untuk membayar alat Rapid test.
RI punya Rapid test buatan sendiri
Keberatan itu yang memicu beberapa peneliti Indonesia untuk membuat Rapid test dengan harga terjangkau.
Dilansir laman fk.ugm, tim peneliti Indonesia berhasil membuat inovasi uji diagnosis cepat (rapid diagnostic test/ RDT) untuk Covid-19 yang berbasis antibodi untuk mendeteksi IgM dan IgG yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan Covid-19.
Penelitian itu dipimpin oleh Prof. dr. Sofia Mubarika Haryana, M.Med.Sc., Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Awalnya, saat muncul pandemi Covid-19 kami memang berpikir apa yang dapat kami lakukan untuk ikut membantu penanganan Covid-19. Kemudian tiba-tiba Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menginisiasi untuk melakukan inovasi riset mengenai Covid-19”, jelas Prof. Rika.
BPPT mengundang dan mengajak beberapa peneliti Indonesia untuk bergabung melakukan riset dalam usaha penanganan Covid-19, termasuk dirinya.
“Kebetulan penelitian saya sebelumnya adalah mengenai virus yang terkait dengan kanker, yaitu Epstein–Barr Virus (EBV). Saya juga mempelajari bidang imunologi dan biologi molekular, sehingga saya bersedia bergabung”, ungkapnya.
Rika mengaku sebelumnya pernah memiliki pengalaman untuk membuat rapid diagnostic test untuk Epstein–Barr Virus (EBV) pada pasien dengan kanker nasofaring.
Kemudian ia memilih bergabung melakukan inovasi penelitian rapid diagnostic test, dengan menggandeng peneliti lain, yaitu Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K), ahli virologi sekaligus Guru Besar FK-KMK UGM, juga Prof. dr. Mulyanto, Alumni FK-KMK UGM yang juga seorang peneliti Laboratorium Hepatika Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Produk rapid diagnostic test ini diberi nama RI-GHA yang merupakan kepanjangan dari Republik Indonesia – Gadjah Mada – Hepatika – Airlangga.
Ongkos buatnya disebut hanya Rp50 ribu
Direktur Laboratorium Hepatika Bumi Gora, Mataram, Prof dr Mulyanto, mengatakan bahwa rencananya alat Rapid test ini akan dijual dengan harga Rp75 ribu per pake.
Ia juga buka-bukaan soal harga produksi yang tak lebih dari Rp.50 ribu.
”Kalau ongkos buatnya saja di bawah Rp 50 ribu,” ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa alat ini sebelumnya sudah diperkenalkan ke Presiden Joko Widodo pada Mei 2020 lalu.
Pemerintah pusat mengklaim tingkat akurasi alat itu mencapai 80 persen, berusaha ditingkatkan. Mulyanto memastikan, RI-GHA Covid-19 Rapid Diagnostic Test IgG/IgM telah mengantongi izin edar dari Kementerian Kesehatan pada 19 Mei lalu.
“Bisa jadi akhir Juni ini alat tersebut diproduksi massal.”
Disebutkan, kalau sudah diproduksi massal, Indonesia akan mendapatkan alat tes cepat dengan harga lebih murah.
“RI-GHA Covid-19 nanti akan dijual dengan harga jauh lebih rendah.”
Hops.id