INIKEPRI.COM – Massa buruh dan pekerja yang tergabung dalam berbagai Aliansi di Kota Batam kembali turun dan melakukan aksi unjuk rasa di halaman DPRD Kota Batam pada Rabu (8/3/2023) pagi.
Dalam aksinya tersebut, tercatat ada delapan tuntutan yang disampaikan secara bergiliran para pengunjuk rasa.
Diantaranya, menyatakan penolakan penolakan akan disahkannya Omnibus Law – Undang-undang Cipta Kerja.
BACA JUGA :
Gatot Sebut UU Omnibus Law Bertujuan Mulia
Dan meminta agar disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) pekerja rumah tangga serta RUU RPTKS.
“Kami juga meminta disediakan adanya rangka publik khusus perempuan. Serta meminta adanya penghapusan Outsourcing,” tegas pengunjuk rasa dalam orasinya.
Mereka juga meminta adanya perbaikan kinerja dari Dinas Tenaga Kerja Kota Batam.
“Dan juga adanya penegasan Kilo 183 tentang Mertenitas dan Kilo 190 tentang kekerasan atau pelecehan di tempat kerja,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, pekerja Indonesia ternyata masih rentan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Berdasarkan survei yang diinisiasi Never Okay Project (NOP) pada 1.240 responden dari 43 provinsi, 89.84% responden mengalami pelecehan secara verbal, 87,96% mengalami pelecehan fisik dan 70,65% pelecehan isyarat.
BACA JUGA :
Omnibus Law dalam Pandangan Kadin
Sebanyak 96% yang mengalami pelecehan seksual adalah perempuan, dan 40% laki-laki. Pelakunya merupakan atasan atau rekan kerja senior (36%) dan 36% pelaku adalah sebaya. Mirisnya, 36% responden mangaku tempat kerjanya tidak memiliki mekanisme penanganan kasus pelecehan seksual.
Bekerja dari rumah juga ternyata tidak luput dari pelecehan. Dalam survai yang dilakukan NOP tahun 2020, dari 315 responden, 86 mengaku pernah menjadi korban, 68 menyaksikan an 30 menjadi korban sekaligus saksi.
Pelecehan seksual yang dialami terjadi lintas platform digital, bahkan 78% korban pernah mengalami pelecehan di lebih dari satu platform selama bekerja dari rumah.
Korban tidak melapor ke HRD atau manajemen dengan alasan tidak akan mendapat respon, khawatir berpengaruh terhadap karirnya atau khawatir disalahkan (victim blaming).
Kenyataan ini membuktikan pentingnya ada payung hukum yang jelas sebagai pedoman bagi pemberi kerja untuk memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan (termasuk kekerasan dan pelecehan seksual) di dunia kerja.
Konvensi ILO 190 (190) pada tahun 2019 yang berjudul “Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” resmi diadopsi oleh konstituen tripartit Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
Kehadiran KILO 190 menjadi relevan untuk melengkapi hukum pidana dan hukum ketenagakerjaan di Indonesia, karena;
- Mencakup berbagai jenis kekerasan dan pelecehan di dunia kerja
- Semua pekerja mendapatkan perlindungan yang sama
- Mencakup lingkup kerja yang luas
- Menjamin perlindungan pekerja dengan komprehensif
- Menguntungkan pekerja dan pengusaha/pemberi kerja. (RP)