Jakarta, inikepri.com – Mendiang Jenderal Polisi (Purn.) Awaloedin Djamin mantan Kapolri periode 1978-1982, menaruh rasa hormat yang mendalam kepada Kapolri pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Ketika menjadi kepala seksi umum kepolisian pada dekade 1950-an, Awaloedin mendampingi Soekanto sebagai juru catat. Menurutnya, Soekanto adalah peletak dasar organisasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang profesional dan modern.
Sebagai bentuk rasa hormat itu, Awaloedin Djamin menyusun biografi Soekanto berjudul Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI. Penulisan biografi tersebut dikerjakan bersama Ambar Wulan, sejarawan dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 2016. Sekira Juli 2017, jurnalis Historia, Martin Sitompul dan Aryono berkesempatan mewawancarai Awaloedin Djamin yang kala itu sudah mulai sakit-sakitan.
Meski demikian, ingatan Awaloedin masih sangat segar. Dengan bersemangat dia menuturkan pengalamannya bekerja bersama Soekanto. Awaloedin juga berkisah banyak hal: mulai tentang sejarah berdirinya institusi Polri, visi Soekanto membangun Polri, hingga kebiasaan unik Soekanto. Pada 31 Januari 2019, Awaloedin meninggal dunia dalam usia 91 tahun. Berikut petikan wawancaranya:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanggal 1 Juli diperingati sebagai hari Bhayangkara. Bagaimana sejarahnya?
Sampai tahun ini masih banyak yang menyatakan 1 Juli adalah hari lahirnya Polri. Itu tidak benar. Saat Jepang kalah, polisi tidak pernah bubar. Mereka pulangkan tentara mulai dari PETA sampai Gyugun. Namun polisi tidak bubar. Bukan Jepang takut sama polisi, namun Konvensi Jenewa menyebutkan bahwa meskipun diduduki musuh, polisi harus tetap bertugas untuk menegakkan ketertiban umum. Saat proklamasi dibacakan, masih ada polisi.
Yang perlu diingat, 19 Agustus 1945, PPKI menyatakan kepolisian di bawah Kementrian Dalam Negeri. Soekanto dilantik jadi kepala polisi 29 September 1945. Lalu 1 Juli 1946 baru keluar keputusan polisi pisah dari Kementrian Dalam Negeri. Kemudian terbentuklah DKN (Djawatan Kepolisian Negara). Tanpa Soekanto, tidak ada 1 Juli 1946 dan tidak ada polisi sekarang.
Bagaimana perkenalan anda dengan Soekanto?
Saya masuk polisi tahun 1950-an. Pak Kanto sudah kepala DKN. Saya tamat PTIK tahun 1955. Lalu saya menjadi kepala seksi umum antara 1955 sampai 1959, di bawah Soekanto. Saya mendampinginya saat rapat, lalu mencatat apapun disampingnya. Saya kemudian dikirim sekolah ke Amerika tahun 1959.
Bagaimana Soekanto membangun kepolisian Indonesia?
Saya ikuti perkembangan mulai dari pembangunan markas polisi di Trunojoyo itu. Sistem parlementer membuat beberapa kali kabinet berganti namun kepala polisinya tetap Soekanto. Dia terlama dalam sejarah Republik ini jadi kepala polisi. Dari situlah ia mendapat kesempatan membangun polisi, dari brigade mobil, lalu polisi udara dan air, PTIK diperkuat, lalu mengirim ratusan perwira ke luar negeri termasuk saya. Dia benar-benar bapak polisi kita.
Apa kebiasaan unik Soekanto?
Saat itu ya, kalo rapat, Soekanto ini dipanggil oleh anak buahnya Paduka Tuan Soekanto. Kan ada tuh dulu berlaku panggilan Yang Mulia Presiden, Yang Mulia Menteri. Lha kalo dia memanggil bawahannya: “tuan-tuan”.
Bagaimana sosok Soekanto dalam pandangan anda?
Orang ini correct, disiplin luar biasa. Pribadinya tidak bisa ditiru. Lalu sangat menghargai waktu. Pada zamannya, Mabes itu bersih. Lantai mengkilat. Hebat orang ini. Pengetahuannya luas. Ia punya pandangan ke depan membangun polisi. Namun saya kok heran, dia dilupakan. Lalu saya menulis mengenai dia bersama Ambar Wulan.
Bagaimana hubungan tentara dan polisi di masa kepemimpinan Soekanto?
Di zaman revolusi urusan perang bukan hanya tentara lho. Soekanto bikin polisi jadi kombatan. Kalau ikut Konvensi Jenewa, saat perang polisi harus bersama Belanda menjaga keamanan. Tapi Soekanto mengabaikannya. Polisi selain ikut perang juga jaga keamanan dari tindak kriminal. Zaman revolusi, polisi kita adalah combatan, tidak ada duanya di semua negara. Kecuali, mungkin di Vietnam.
Apa yang dikerjakan Soekanto di Amerika?
Dia ke Amerika atas perintah Bung Hatta. Di sana, dia mencari bantuan senjata dan uang. Yang paling pentingkan minta pengakuan kepada Republik. Nah pas disana, terjadi peristiwa Madiun. Amerika kan antikomunis. Soekanto meyakinkan bahwa polisi Republik bisa menghantam komunis di Indonesia. Maka, Amerika lebih berpihak kepada kita daripada mendukung Belanda kan. Lalu banyak perwira polisi disekolahkan ke Amerika.
Bagaimana kiprah Soekanto berakhir di kepolisian?
Dia keluar dari polisi karena soal prinsip. Dia tau ada anak buah nyelonong ke Bung Karno. Bung Karno menelepon Soekanto supaya mereka jangan ditindak. Pak Kanto bilang, “kalo tidak ditindak, rusak polisi selama-lamannya karena boleh nyelonong ke atas.” Lalu dia diskors. Baru pada zaman Soeharto, namanya direhabilitir, jadi pangkat jenderal.
Mengenai Yayasan Raden Saleh, apakah Soekanto tergabung didalamnya?
Oh bukan Raden Saleh, dia Orhiba. Orhiba itu kan olahraga hidup baru; membentuk fisik dan mental agar seimbang. Sederhana sekali. Banyak muridnya. Sampai akhir hayatnya, ya dia di Orhiba itu.
Apa yang anda kagumi dari sosok Soekanto?
Nah, saat Soekanto meninggal, dia tidak punya apa-apa. Kata orang ramai bicara Hoegeng, tapi ingat, Hoegeng mengidolakan Soekanto. Lalu Jassin, pahlawan nasional, juga mengidolakan Soekanto. Pribadinya, ketepatan waktunya, dan ketegasannya.
Historia