INIKEPRI.COM – Di era digital saat ini, penyajian alat bukti elektronik yang sah dan efektif menjadi sangat krusial dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Untuk memastikan proses peradilan berjalan dengan baik dan hukuman diberikan secara tepat, aparat penegak hukum (APH) harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang cara mengelola dan menyajikan bukti digital.
Menanggapi tantangan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar lokakarya bertajuk “Mengungkap Bukti Digital: Strategi Penyajian Data Elektronik di Persidangan,” yang diselenggarakan bertepatan dengan perayaan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024 di Gedung Juang Merah Putih KPK, Jakarta, pada Senin (16/12/2024).
Lokakarya itu bertujuan untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menghadapi permasalahan bukti elektronik yang semakin kompleks.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Data dan Analisis (DNA) Korupsi KPK, Juliawan Superani, menjelaskan bahwa pemahaman tentang barang bukti elektronik sangat penting, mengingat perkembangan modus operandi pelaku tindak pidana korupsi yang semakin canggih. “Di era digital, bukti elektronik menjadi elemen penting dalam penegakan hukum. Bagaimana cara mengelola dan menyajikan bukti digital secara akuntabel dan transparan menjadi langkah strategis dalam mempercepat proses penegakan hukum yang adil,” ungkap Juliawan.
Manajer Mutu Laboratorium Barang Bukti Elektronik (LBBE) KPK, Hafni Ferdian, menambahkan bahwa banyak kasus yang ditangani oleh KPK melibatkan alat bukti elektronik. Meskipun hakim sudah memiliki kapasitas untuk memutuskan hukuman berdasarkan bukti elektronik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyajian alat bukti digital.
“Ada tiga hal penting terkait bukti elektronik. Pertama, keabsahan alat bukti yang harus sesuai dengan standar legal authority, seperti surat pernyataan untuk melaksanakan pembuktian elektronik. Kedua, ada proses riset dan pengembangan untuk memastikan bukti elektronik tersebut sudah valid. Dan ketiga, pentingnya menjaga keamanan data dari setiap bukti elektronik yang diajukan,” jelas Hafni.
Syofian Kurniawan, Direktur Pengendalian Aplikasi dan Informatika (PAI) Kementerian Komunikasi dan Digital, menjelaskan bahwa bukti atau informasi elektronik dianggap sah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024. Menurut Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE, informasi elektronik dan dokumen elektronik, termasuk hasil cetaknya, dapat menjadi alat bukti hukum yang sah jika dapat diakses, ditampilkan, dan dipertanggungjawabkan dengan baik.
“Pasal 5 menyebutkan bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik sah sebagai alat bukti hukum, namun Pasal 6 juga menegaskan bahwa bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak rusak sedikit pun,” kata Syofian.
Muhammad Nuh Al Azhar, Ahli Digital Forensik dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri, mempertegas bahwa alat bukti elektronik harus diperkuat dengan forensik digital. Proses forensik ini, yang mengacu pada ISO 27037, melibatkan empat tahapan utama: identifikasi bukti, pengumpulan data dari perangkat elektronik yang ditemukan, akuisisi perangkat, dan pemeliharaan bukti tersebut untuk memastikan integritasnya.
“Setiap bukti elektronik yang ditemukan harus melalui proses forensik digital yang ketat. Proses ini penting untuk menjaga agar bukti tersebut sah dan tidak dirusak. Bukti ini kemudian akan diperkuat melalui tinjauan saksi ahli dan praktisi teknis,” terang Nuh.
Sudharmawatiningsih, Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung, menjelaskan bahwa hakim dalam memutuskan hukuman melalui alat bukti elektronik harus mematuhi empat prinsip dasar dalam penanganan bukti tersebut:
- Integritas Data: Bukti elektronik harus otentik dan tidak dimanipulasi, yang diuji melalui metodologi hash value.
- Keterlibatan Ahli: Para ahli harus hadir untuk menganalisis bukti elektronik yang diajukan.
- Kronologi Identifikasi: Bukti harus diuji berdasarkan kronologi identifikasi secara administratif.
- Penerapan Perundangan: Bukti elektronik harus merujuk pada perundangan yang berlaku, baik dari instrumen nasional (seperti UU ITE) maupun instrumen internasional
“Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, hakim dapat memastikan bahwa alat bukti elektronik yang diajukan memenuhi standar hukum dan dapat diterima di pengadilan,” pungkas Sudharmawatiningsih.
Melalui lokakarya itu, KPK berupaya untuk meningkatkan kapasitas para aparat penegak hukum dalam menghadapi tantangan baru di era digital, terutama dalam penggunaan dan penyajian alat bukti elektronik dalam kasus korupsi. Hal itu diharapkan dapat mendukung penegakan hukum yang lebih transparan dan efektif, serta memastikan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dapat dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Penulis : RBP
Editor : IZ