INIKEPRI.COM – Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menjelaskan sebagai pengawas eksternal hakim, KY diberikan tugas untuk menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Namun, karena garis batas yang tipis antara pelanggaran perilaku (misconduct) dan kesalahan teknis yudisial (legal error) itu, maka perlu ada kesepakatan terkait rumusan untuk membedakan keduanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“KY adalah lembaga yang berfokus pada pelanggaran etika hakim. Banyak pelanggaran tersebut dibungkus legal error, sehingga pembahasan mengenai garis batas di antara keduanya harus dikembangkan terus untuk menyumbang pikiran dalam membedakan keduanya. KY punya metodologi dalam menganalisis laporan pelanggaran etika oleh hakim. KY juga punya kewenangan mengklarifikasi untuk menyatakan ada tidaknya pelanggaran tersebut,” jelas Kadafi saat menjadi dosen tamu Bidang Studi Hukum Tata Negara (HTN) di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin (13/5/2024).
Kadafi menyampaikan materi seputar KY dengan topik “Kelembagaan dan Peran KY dalam Menjaga Independensi Kekuasaan Kehakiman” memberi gambaran utuh tentang jejak sejarah dan kerangka hukum pendirian KY yang bermula pada belum adanya pengawasan yang objektif dan fair pada kinerja hakim. Kebutuhan yang mendesak tersebut menghasilkan cetak biru pembaruan peradilan untuk dibentuknya KY sebagai lembaga etik yang mandiri.
“Kewenangan KY sebagai lembaga etik tercantum pada Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945 yang intinya mengatur bahwa KY memiliki dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MA. Kewenangan kedua relatif lebih luas dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan martabat serta perilaku,” lanjut Kadafi.
Kewenangan kedua KY mencakup bidang pengawasan hakim, peningkatan kapasitas hakim, melaksanakan pemantauan perkara persidangan, advokasi hakim, serta kewenangan menganalisis putusan yang berkekuatan hukum tetap untuk memperkaya referensi sumber hukum dari dasar-dasar argumentasi yang dibangun oleh para hakim, kaidah yurisprudensi, juga relevansinya dengan teori terbaru yang relevan.
Untuk memperkuat pembuktian pelanggaran perilaku hakim, Kadafi juga menyebutkan bahwa mata dan telinga KY ada pada advokat yang berpraktik di pengadilan, terutama pihak berperkara yang kalah yang biasanya kritis dan potensial memberikan tambahan bukti yang valid kepada KY.
Kadafi juga menyampaikan saran dan harapan agar materi spesifik tentang KY sebaiknya diperkuat pada mata kuliah HTN, terutama soal Kekuasaan Kehakiman serta mata kuliah Kode Etik Profesi di Fakultas Hukum.
“Sebab KY ada dalam skema kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang mengimbangi dan mengawasi. Selain itu, KY adalah lembaga yang berkonsentrasi pada KEPPH yang masuk pada pembahasan kode Etik Profesi,” pungkas Kadafi.
Penulis : RBP
Editor : IZ